Apakah sharf
termasuk dalam akad tijarah atau tabarru’??
Pengertian Akad
Kontrak atau Akad dalam bahasa
arab adalah ‘uqud jamak dari ‘aqd, yang secara bahasa arti nya,
mengikat,bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain membuat suatu
perjanjian. Di dalam Hukum Islam, aqd artinya : “ gabungan atau penyatuan
dari penawaran ( Ijab ) dan penerimaan (qabul)” yang
sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama,
sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang disebutkan oleh
pihak pertama.
Akad
dari istilah fiqh ialah ikatan di antara ijab dan qabul yang dibuat mengikut
cara yang disyariatkan yang sabit kesannya pada barang berkenaan. Dengan
perkataan lain akad melibatkan pergantungan cakapan salah satu pihak yang
berakad dengan cakapan pihak yang satu lagi, mengikut ketentuan syarak yang
akan melahirkan kesan pada barang yang diakadkan. (al-Zuhaily,Wahbah, 2002, Fiqh
& perundangan Islam, pent. Md. Akhir Haji Yaacob, Dewan Bahasa dan
Pustaka, jld.4, hlm.83). Dari aspek undang-undang pula, kontrak didefinisikan
sebagai semua perjanjian adalah kontrak jika dibuat atas kerelaan bebas
pihak-pihak yang layak membuat kontrak, untuk sesuatu balasan yang sah, dan
dengan sesuatu tujuan yang sah (Akta Kontrak, seksyen 10 (1)).
Jenis Akad
Dari
segi ada atau tidak adanya kompensasi, fikih muamalat membagi lagi akad menjadi
dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad tijarah/mu’awadah.
1. Akad
Tabarru’
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macamperjanjian yang
menyangkut not-for profit transaction (transaksi
nir-laba). Transaksi ini pada hakekatnya bukan transaksi bisnis
untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong
dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam
bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’ pihak yang berbuat
kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak
lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari
manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh
memintakepada counter-part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover
the cost ) yang
dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Tapi ia tidak
boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad
tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah,wakalah,
kafalah, wadi’ah, hibah,waqf, shadaqah, hadiah, dll.
Fungsi
Akad Tabarru’:
Akad tabarru’ ini adalah
akad-akad untuk mencari keuntungan akhirat, karena itu bukan akad bisnis. Jadi,
akad ini tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan komersil. Bank syariah
sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk mendapatkan laba tidak dapat
mengandalkan akad-akad tabarru’ untuk mendapatkan laba. Bila tujuan kita adalah
mendapatkan laba, maka gunakanlah akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad
tijarah. Namun demikian, bukan berarti akad tabarru’ sama sekali tidak dapat
digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada kenyataannya, penggunaan akad
tabarru’ sering sangat vital dalam transaksi komersil, karena akad tabarru’ ini
dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah.
2. Akad
Tijarah
Berbeda dengan akad
tabarru’, akad tijarah/mu’awadah (compensational
contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit
transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena
itu bersifat komersil.
Berdasarkan tingkat
kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah pun dapat kita bagi
menjadi dua kelompok besar, yakni: Natural Uncertainty Contracts dan Natural
Certainty Contracts.
a.
Natural Certainty Contract (NCC)
Dalam
NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu
objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad
dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price),
dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara
“sunnatullah” (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang
termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah,
sewa-menyewa, dll, yakni sebagai berikut:
-
Akad Jual-Beli (Al-Bai’. Salam, dan
Istishna’)
-
Akad Sewa-Menyewa (Ijarah dan IMBT)
b.
Natural Uncetrainty Contracts (NUC)
Dalam
NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real
assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung
resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Di sini, keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberikan kepastian
pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya.
Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak
investasi ini secara “sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return
yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak “fixed and predetermined”.
Sharf
Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa al-sharf
berarti menjual uang dengan uang lainnya. Al-Sharf yang secara
harfiyah berarti penambahan, penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli.
Dengan demikian al-Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta
dengan valuta lainnya. Valas atau al-sharf secara bebas
diartikan sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat
pembayaran yang sah di negara lain.
Muhammad al-Adnani mendefinisikan al-sharf dengan tukar menukar
uang. Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan al-sharf dengan pemerolehan
harta dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling
menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak yang
satu dengan perak yang lain atau berbeda jenisnya semisal emas dengan perak,
dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang
lain.
Definisi al-sharf
menurut Abdurrahman al-Maliki adalah pertukaran harta dengan harta yang berupa
emas atau perak, baik dengan sesama jenisnya dengan kuantitas yang sama, maupun
dengan jenis yang berbeda dengan kuantitas yang sama ataupun tidak sama. Karena
mata uang sekarang dianggap sama dengan emas dan perak, maka Rawwas Qa’ahjie
mendefinisikannya secara umum, yaitu pertukaran uang dengan uang. (Abdurrahman
al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 114 & 125;
Ali As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah,
hal. 432; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, hal. 85 &
208).
Hukum jual beli mata
uang mubah selama memenuhi syarat-syaratnya. Jika yang dijualbelikan sejenis
(misal rupiah dengan rupiah, atau dolar AS dengan dolar AS), syaratnya dua. Pertama,
harus ada kesamaan kuantitas, yakni harus sama nilainya. Kedua, harus
ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad. Jadi harus kontan dan
tak boleh ada penundaan serah terima. Adapun jika yang dijualbelikan tak
sejenis (misal rupiah dengan dolar AS), syaratnya satu, yaitu dilakukan secara
kontan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, 2/155; Abul A’la
al-Maududi, Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba
Adhraruhu wa Atsaruhu, hal. 23).
Aktivitas perdagangan
valuta asing, harus sesuai dengan norma-norma syariah, antara lain harus
terbebas dari unsur riba, maisir, gharar. Karena itu perdagangan
valas harus memperhatikan batasan sebagai berikut ;
a)
Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot),
artinya masing-masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang
pada saat yang bersamaan.
b)
Motif pertukaran adalah untuk kegiatan bisnis sektor riil, yaitu
transaksi barang dan jasa, bukan dalam rangka spekulasi.
c)
Harus dihindari jual beli bersyarat. Misalnya, si A setuju
membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang.
d)
Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak uang diyakini
mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
e)
Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan
kata lain, tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (ba’i al-fudhuli).
Kesimpulan:
Berdasarkan pemaparan
di atas dapat kita simpulkan bahwa sharf termasuk ke dalam transaksi
tabarru’ dimana transaksi sharf ini tidak untuk mencari keuntungan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar